Tuesday, April 10, 2007

BURUH MIGRAN MENANTI PERLINDUNGAN

Oleh
Anis Hidayah,

Kehidupan ekonomi makro dan mikro bangsa Indonesia yang hanya menggeliat dan menunjukkan perkembangan signifikan dalam kertas yang ada di tangan para pejabat negara tidak memberi dampak positif bagi kehidupan ekonomi rakyat. Rakyat harus mengantre dengan sangat panjang hanya untuk mendapatkan minyak tanah yang tidak gratis sama sekali.

Ditambah bencana alam yang baru disadari harus menjadi bagian dari kehidupan bangsa ini, menambah getir kehidupan masyarakat yang telah merdeka lebih dari enam puluh tahun ini. Belum lagi bencana yang diakibatkan kecerobohan dan ketamakan segelintir orang yang harus ditanggung, sekali lagi, oleh masyarakat yang tidak jarang hanya makan dua kali sehari.

Dengan kondisi kehidupan ekonomi yang semakin suram dan bertambah pahit, menjadi buruh migran ke luar negeri kemudian menjadi alternatif yang harus dipilih untuk merubah kondisi kehidupan yang sangat memprihatinkan. Terlebih pemerintah, dengan motivasi yang tentunya tidak jauh dari peningkatan devisa yang akan diterima, menggalakkan pengiriman buruh migran dari wilayah-wilayah bencana.

Bahkan sejak tahun 2006 ini pemerintah menargetkan satu juta buruh migran yang dapat dikirim ke luar negeri setiap tahun. Maka tidak mengherankan ketika tiga hari pasca gempa di Yogyakarta para Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) berdatangan menawarkan pekerjaan di luar negeri dengan iming-iming bisa cepat membangun rumah yang telah runtuh akibat gempa daripada menunggu janji pemerintah yang ternyata sampai kini tidak ditepati.

Realitas buruh migran di Luar Negeri
Indonesia adalah negara terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Philipina yang mengirimkan buruh migran ke luar negeri. Lebih dari 73% dari jumlah buruh migran Indonesia di luar negeri adalah perempuan dan mayoritas bekerja sebagai PRT migran. Tingkat pendidikan dan terbatasnya kemampuan menguasai bahasa setempat menjadi kendala utama bagi mereka dalam berkomunikasi dengan majikan dan terutama untuk menjaga dan melindungi hak-hak mereka yang wajib dihormati. Kondisi seperti ini sedikit banyak berimplikasi pada nasib yang harus mereka terima.

Berbeda misalnya dengan tenaga kerja asal Filipina, salah satu negara yang juga banyak mengirimkan tenaga kerjanya, yang mendapatkan fasilitas lebih baik dibandingkan dengan tenaga kerja asal Indonesia. Baik dari segi “martabat” dan gaji yang mereka terima serta jenis-jenis pekerjaan yang harus mereka kerjakan, meski dalam posisi yang sama dengan PRT migran asal Indonesia.

Perbedaan ini sesungguhnya tidak semata karena perbedaan skill atau kemampuan masing-masing individu, akan tetapi juga karena adanya perbedaan kebijakan masing-masing negara dalam melindungi hak setiap warga negaranya. Bagaimana kebijakan dan tindakan kongkrit mantan presiden Fidel Ramos dan presiden Arroyo dalam melindungi warga negaranya yang bekerja di luar negeri menunjukkan betapa pemerintah Filipina mempunyai keberpihakan yang signifikan bagi warga negaranya tanpa membedakan status sosial mereka

Banyak cerita tentang buruh migran di luar negeri. Dari yang berhasil dan sukses memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga sampai yang terlalu getir dan perih hanya sekedar untuk dikenang. Tidak jarang di antara buruh migran, yang sering disebut sebagai pahlawan devisa, pulang tidak bernyawa dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Bahkan di antara mereka yang tidak bernyawapun masih harus menunggu proses yang terlalu rumit untuk dipahami oleh orang yang telah mati.

Kematian Maryati Binti Wirdi (PRT migran asal Ngawi Jawa Timur yang bekerja sebagai PRT di Saudi Arabia) pada awal bulan Agustus yang lalu menjadi sebuah bukti nyata bahwa pemerintah sangat lambat dalam melakukan tanggung jawabnya terhadap buruh migran. Empat bulan sudah Maryati meninggal, namun hingga kini jenazahnya belum dipulangkan ke Indonesia. Kasus ini menjadi salah satu bukti sejauh mana keseriusan pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada buruh migran Indonesia.

Persoalan krusial lainnya adalah tidak adanya akuntabilitas dan tranparansi dari Depnakertrans mengenai biaya-biaya TKI. Biaya yang paling kelihatan adalah pungutan sebesar US$15 setiap calon buruh migran untuk semua negara tujuan (PP No 92 Tahun 2000). Hingga tahun 2003 saja, biaya itu sudah mencapai US$16,041,090 (sumber:Depnakertrans,2004). Benarkah biaya itu telah diperuntukkan bagi perlindungan buruh migrant?


Upaya Perlindungan
Realitas buruh migran yang selama ini kurang mendapatkan perlindungan pemerintah menjadi perhatian khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Salah satu kebijakan SBY yang cukup strategis adalah pemotongan mata rantai birokrasi penempatan buruh migran yang dinilai sangat panjang dan menyulitkan calon buruh migran.

Selain itu SBY juga membentuk Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) yang strukturnya akan diselesaikan paling lambat 6 bulan setelah Perpres No. 8 Tahun 2006 yang terbit pada tanggal 16 September 2006.

Akan tetapi langkah tersebut menjadi tidak bermakna ketika upaya kongkrit di tingkat teknis departemen tidak sejalan dengan wacana reformasi. Sayangnya, hingga kini belum ada upaya koordinasi lanjutan dari SBY untuk monitoring perkembangan langkah Depnakertrans RI dalam membangun platform reformasi untuk perlindungan buruh migrant.

Saat ini SBY sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke Jepang dan Rusia. Dalam konteks buruh migrant, lawatan SBY ke Jepang mempunyai beberapa makna. Pertama, dalam kunjungan ini SBY telah berhasil membangun kerjasama baru dengan Jepang di bidang ketenagakerjaan (buruh migran) dimana terjadi kesepakatan bahwa Jepang akan menerima buruh migran Indonesia sebagai perawat. Kerjasama ini menjadi peluang bagus apabila Depnakertrans RI secara serius mengelola kerjasama ini dengan semangat reformasi sebagaimana yang dimandatakan Inpres No 6 Tahun 2006.

Kedua, nampaknya SBY tidak banyak diberikan informasi mengenai situasi buruh migrant Indonesia di Jepang. Maraknya buruh migrant yang diperdagangkan sebagai PSK dengan kedok duta seni, masih berlakunya system trainee bagi buruh migran yang terbukti sangat merugikan. Di samping semakin maraknya penipuan terhadap calon buruh migrant yang rugi puluhan juta akibat gagal akan dikirim ke Jepang sementara mereka sudah terlanjur menggandaikan sawah dan rumah. Persoalan-persoalan ini seharusnya menjadi bagian dari bekal SBY sebelum berangkat ke Jepang sehingga hal tersebut bisa menjadi salah satu agenda kunjungan SBY selama di Jepang untuk memperbaiki situasi buruh migrant Indonesia di Jepang.

Hal yang sama seharunya yang juga dilakukan oleh anggota legislatif yang akan melakukan kunjungan kerja ke negara-negara tujuan buruh migran Indonesia. Tanggal 29 November 2006 rombongan dari Komisi IX DPR RI akan berkunjung ke Hongkong dan pada tanggal 5 Desember 2006, rombongan dari Komisi yang sama akan berangkat ke Korea. Agar kunjungan mereka memiliki arti selain untuk menghabiskan budget, mereka harus memikirkan kondisi buruh migran Indonesia di sana.

Agenda yang Harus Dilakukan
Apabila SBY benar-benar hendak melakukan perbaikan penempatan dan perlindungan terhadap buruh migran Indonesia sesungguhnya tidak cukup hanya dengan memotong rantai birokrasi yang terlalu panjang dan pembentukan BNP2TKI. Akan tetapi juga harus melakukan langkah strategis lainnya. Diantaranya, meratifikasi UN Convention on the Protection of The Rights of All migrant Workers and Members of their Families sebagai implementasi Rencana Aksi Nasional HAM 2004-2009 dan komitmen Indonesia sebagai anggota Human Rights Council.

Posisi Indonesia yang belum merativikasi konvensi tersebut, mendorong Pelapor Khusus PBB tentang buruh migran, Mr George Bustamante akan berkunjung ke Indonesia pada tanggal 12-20 Desember 2006. Kedatangannya untuk membantu dan mendorong Indonesia mengenai pentingnya perlindungan dan pemajuan hak asasi buruh migran.

Selain itu, agenda penting lainnya yang harus menjadi prioritas pemerintah adalah melakukan upaya kongkrit perlindungan terhadap buruh migran di luar negeri dengan membentuk bilateral maupun multilateral agreement dengan negara-negara tujuan buruh migran Indonesia.

Semoga tanggal 22 Desember 2006 sebagai hari Kebangkitan Perempuan diharapkan menjadi moment bagi pemerintah untuk mengesahkan RUU Anti Perdagangan Manusia. RUU ini sangat mendukung upaya pemerintah dalam melindungi buruh migran, mengingat penempatan buruh migran sangat potensial untuk menjadi wahana pelanggengan praktek trafficking.

No comments: