Tuesday, March 27, 2007

Presiden SBY harus Lindungi Buruh Migran

KEMKOKESRA--OL, 27 Februari: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus bersikap tegas kepada Malaysia untuk melindungi hak asasi buruh migran Indonesia yang bekerja di negara tersebut.
Pernyataan itu disampaikan oleh Direktur Eksekutif Migrant CARE Anis Hidayah di Pontianak, kemarin.
''Pemerintah Malaysia saat ini sedang menyusun undang-undang baru yang akan semakin membatasi ruang gerak buruh migran. Rencananya draf RUU yang disusun Kementerian Dalam Negeri Malaysia itu akan dibahas di Malaysia, Maret mendatang,'' kata Anis seperti dikutip Antara.
Dengan adanya RUU tersebut, menurut Anis, rentan bagi buruh migran, rentan bagi buruh migran Indonesia yang selama ini telah tertekan oleh Akta Imigresen 1154 a/2002.
Akta Imigresen itu menyebabkan ratusan ribu buruh migran dirazia, dipenjara dan dideportasi paksa, bahkan terkadang dengan cambukan.Selain persoalan tersebut, angka buruh migran Indonesia yang menghadapi ancaman hukuman mati cukup tinggi.Menurut data Migrant CARE, saat ini ada 16 buruh migran Indonesia yang menghadapi ancaman hukuman mati.
Anis juga mengingatkan kasus buruh migran Indonesia di Malaysia telah mendapat sorotan dari Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Buruh Migran Jorge Bustamante.Dari hasil penelitian Bustamante, telah ditemukan adanya pelanggaran HAM serius yang dialami oleh para buruh migran.
Para buruh ini selain mendapat siksaan, ancaman, dan pemerasan.Jorge pun menemukan adanya pelanggaran HAM serius dalam nota kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia.
Dalam nota kesepahaman yang disepakati pada Mei 2006 di Bali tersebut, terdapat pasal tentang paspor buruh migran yang dipegang oleh majikan.''Adalah ironi ketika Malaysia menjadi anggota Dewan HAM PBB tetap saja memproduksi instrumen-instrumen yang berpotensi untuk melanggar HAM buruh migran,'' kata Anis.
Indonesia dan Malaysia adalah negara-negara anggota HAM PBB dan telah menandatangani ASEAN Declaration on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers.Namun kenyataan di lapangan, kata Anis, Malaysia tetap menggunakan milisi sipil RELA untuk operasi pengusiran buruh migran tak berdokumen.
Dalam skala tertentu milisi RELA bisa menggunakan senjata dan melakukan kekerasan terhadap buruh migran tak berdokumen.''Indonesia dan Malaysia seharusnya melangkah ke upaya yang lebih maju untuk memproteksi dan mempromosikan hak asasi buruh migran,'' ujarnya.
Sebagai presiden, lanjutnya, Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya berani mengingatkan Abdullah Badawi karena tanpa kehadiran buruh migran Indonesia, kemajuan ekonomi Malaysia adalah sebuah kemustahilan. (miol/broto)

PBB Bahas HAM di Indonesia

JAKARTA (SINDO) – Sejumlah kasus pelanggaran HAM berat di Tanah Air dibawa ke sidang IV Dewan HAM PBB yang berlangsung sejak 12–26 Maret 2007.
Dini hari tadi, 01.00 WIB atau 07.00 waktu Jenewa, Swiss, delegasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia yang dipimpin Rafendi Djamin dari Human Right Working Group (HRWG) menyampaikan kasus-kasus HAM nasional kita secara tertulis. Kontingen itu terdiri dari HRWG, Serikat Buruh Migran Indonesia, Migrant Care, Infid, dan Walhi.
Adapun kasus pelanggaran HAM berat yang disampaikan dalam forum itu meliputi peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti, tragedi Semanggi I dan Semanggi II atau populer disebut TSS. ”Persoalan HAM di tanah air tak akan pernah selesai karena DPR yang kita harapkan berkomitmen menyelesaikan kasus ini justru menjadi pelaku kejahatan impunitas,” kata Rafendi, saat dihubungi SINDO tadi malam.
Menurut Rafendi, adalah keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR yang menolak kasus TSS diagendakan dalam sidang paripurna yang menjadi latar belakang dibawanya persoalan HAM tersebut ke forum internasional. Begitu pula dengan kasus penghilangan paksa terhadap 13 aktivis pada 1997–1998. Menurut dia, bila DPR serius menyelesaikan kasus penghilangan paksa itu, mestinya tak perlu lagi membentuk panitia khusus (pansus).
”Dengan dibentuk pansus itu, sama saja mengulur-ngulur waktu,” katanya. Sebab itu,ujar dia,pihaknya sudah bertekad menjadikan masalah HAM di dalam negeri sebagai sorotan dunia.Kendati demikian, Rafendi berpendapat, tetap ada peluang bagi DPR untuk menampik tudingan sebagai pelaku kejahatan impunitas. Syaratnya, kata dia, DPR harus berani mengagendakan kembali kasus HAM itu pada sidang paripurna.
Anggota Komisi III DPR Al Muzamil Yusuf tidak mempersoalkan masalah HAM di Tanah Air dibawa ke sidang HAM PBB.Namun, dia optimistis Dewan HAM PBB akan merekomendasikan agar penyelesaian kasus HAM itu ditangani di dalam negeri. Sementara menanggapi tudingan DPR sebagai pelaku kejahatan impunitas, dia mengatakan tudingan itu tidak tepat.
”Untuk TSS, DPR tetap berkomitmen untuk menyelesaikannya. Sedangkan kasus penghilangan paksa, itu merupakan urusan para pimpinan DPR, ”tandasnya. Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amidhan mengaku setuju kasus HAM di Tanah Air dibawa ke forum internasional. Menurut dia, penyelesaian kasus HAM penting untuk diberi kepastian terkait kejelasan nasib korban dan keluarga korban.
Hanya,kata Amidhan,bila sudah di tangan PBB, tentunya kasus itu akan ditindaklanjuti dan akan diteliti. Jika sudah demikian, lanjut dia, tentunya akan menjatuhkan citra Indonesia di mata Internasional. ”Ironisnya, kita ini adalah salah satu negara anggota Dewan HAM PBB,” ujarnya.
Bahas Masalah Buruh Migran
Selain kasus penghilangan paksa dan TSS,kasus HAM lain yang dibawa dalam Dewan HAM PBB ini adalah masalah buruh migran Indonesia di Malaysia. Rencananya, pembahasan masalah buruh migran ini akan mengulas rekomendasi Pelapor Khusus Dewan HAM PBB Prof DR Jorge Bustamante atas kunjungannya ke Indonesia pada 12–21 Desember 2006.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan, laporan Jorge Bustamante merekomendasikan bahwa Indonesia harus segera melakukan langkah-langkah konkret untuk perlindungan buruh migran dengan meratifikasi International Convention the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families of 1990. Langkah lain yang direkomendasikan Jorge Bustamante adalah me-review memorandum of understanding antara Indonesia dan Malaysia mengenai PRT migran yang ditandatangani Mei 2006 di Bali.
MoU ini telah menjadi instrumen legal pelanggaran HAM karena melegitimasi penyanderaan paspor buruh migran Indonesia oleh majikan. Untuk diketahui, dalam sidang IV Dewan HAM PBB itu akan dibahas berbagai macam masalah seputar tema-tema HAM, yaitu hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hakhak sipil dan politik. Indonesia yang menjadi anggota Dewan HAM PBB, turut serta dalam sidang keempat ini.
Selain delegasi LSM Indonesia yang melakukan monitoring, intervensi substansi serta menyampaikan written statement mengenai situasi HAM di Indonesia dalam perspektif masyarakat sipil, sidang Dewan HAM PBB ini juga diikuti oleh Pemerintah RI yang mengirimkan delegasi resmi yang dipimpin Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin. (sm said/chamad/amril)

19 TKI Terancam Vonis Mati

JAKARTA, (PR).-Sedikitnya 19 tenaga kerja Indonesia (TKI) terancam hukuman mati di luar negeri. Oleh karena itu, pemerintah diminta lebih serius dalam menangani mereka. Selama ini, masalah ancaman hukuman mati masih menjadi masalah krusial yang tidak pernah diselesaikan secara sistematik dalam mekanisme perlindungan buruh migran Indonesia. Demikian dikemukakan Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, dalam keterangan persnya, di Jakarta Rabu (24/1).
Dalam catatan Migrant Care, sejak tahun 1999 hingga 2006, setidaknya ada 32 buruh migran Indonesia yang menghadapi ancaman hukuman mati di Singapura, Malaysia, dan Arab Saudi.
Dari jumlah 32 orang tersebut, 19 orang di antaranya sudah terbebas dari hukuman gantung, dan 15 lainnya masih ditahan di penjara untuk menunggu proses persidangan. Dengan adanya keterangan dari KJRI (Konsul Jenderal Republik Indonesia) Jeddah pada tanggal 23 Januari 2007 bahwa akan ada 4 buruh migran perempuan asal Indonesia yang terancam eksekusi mati dengan cara dipancung, semakin menambah angka ancaman hukuman mati terhadap buruh migran Indonesia.
"Jika kita me-review upaya pemerintah RI dalam menangani kasus ancaman hukuman mati terhadap buruh migran Indonesia di luar negeri, ada beberapa catatan buruk yang harus diperbaiki," kata Anis.
Pertama, ungkap Anis, pada tahun 1999, saat Gus Dur menjabat Presiden RI, ia telah melakukan upaya diplomatik untuk membebaskan Siti Zaenab dari hukuman pancung di Arab Saudi. Namun, tampaknya jerih payah Gus Dur ini tidak dilanjutkan oleh dua presiden setelah Gus Dur, yaitu Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Akibatnya, Siti Zaenab yang nyawanya sempat terselamatkan oleh diplomasi Gus Dur, kini kembali berada di ujung tanduk.
Kedua, dari pengalaman menangani kasus ancaman hukuman mati di Malaysia, KBRI Kuala Lumpur sangat terlambat mengetahui informasi tentang ancaman hukuman mati yang menimpa Suhaidi bin Asnawi, Lili Ardi Sinaga, dan Hasanuddin Sinring.
Hal ini berakibat pada tidak adanya pendampingan sejak dini terhadap korban. Selain itu juga pihak keluarga korban tidak tahu-menahu soal kasus yang menimpa korban.
Ketiga, ungkap Anis, pemerintah RI selama ini terkesan mengabaikan keluarga korban yang menghadapi ancaman hukuman mati di luar negeri. Pemerintah telah merasa bertanggung jawab dengan menyewa pengacara untuk mendampingi korban selama proses persidangan. Seharusnya keluarga dari korban juga didampingi sekaligus diberi informasi secara rutin mengenai perkembangan kasus korban.
Keempat, tambah Anis, pemerintah RI selama ini masih sangat kurang melakukan upaya-upaya preventif untuk mencegah bertambahnya kasus ancaman hukuman mati yang menimpa buruh migran Indonesia di luar negeri.
Sehingga kasus hukuman mati terus terjadi dan meningkat. Terhadap hal ini, Migrant Care meminta Presiden SBY melakukan upaya diplomatik untuk membebaskan buruh migran Indonesia yang menghadapi ancaman hukuman mati di luar negeri.
Migrant Care juga meminta pemerintah Indonesia lebih serius menangani kasus ancaman hukuman mati yang terus mengalami peningkatan dan harus rutin memberikan informasi kepada pihak keluarga korban mengenai perkembangan kasus korban yang menghadapi ancaman hukuman mati di luar negeri.
Ke-19 TKI yang menghadapi hukuman mati itu adalah Suhaidi bin Asnawi asal Desa/Kec. Kediri Kab. Lombok Barat NTB, Lili Ardi Sinaga, asal Dusun Temurong Pematang Siantar, Sumut, Hasanuddin Sinring asal Makassar, Noni Fitria asal Binjai Sumut, Nazaruddin bin Daud, dan Tarmidzi bin Yacob. Keenam TKI itu semuanya bekerja di Malaysia.
Selain itu, enam TKI lainnya yang bekerja di Malaysia juga terancam hukuman mati. Mereka adalah Armiadi bin Ismail, Bustaman bin Buchori, Abdul Jalil bin Abdul Hamid, Ruslan Dedeh, Nuraini binti Sadi, dan Izudan Kazuadi yang terancam hukuman gantung dan masih dalam proses persidangan.
Sementara lima TKI terancam hukuman mati di Arab Saudi. Mereka adalah Suwarni, Siti Zaenab asal Jawa Timur, Hafidh bin Kholil Sulam asal Jawa Timur, Eti Thoyib Anwar asal Jawa Barat, dan Nur Makin Sobri.
Sedangkan dua TKI lainnya yang juga terancam hukuman mati adalah Barokah, bekerja di Singapura dan Darman Agustiri yang bekerja di Mesir. (dtc)